Membahas inti permasalahan dari web yg sudah saya cantumkan mengenai murabahah
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4572/akad-murabahah-dan-penyelesaian-sengketa-perbankan-syariah
Mengenai utang dalam Murabahah, ketentuan Bagian Keempat Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah (sumber www.mui.or.id), mengatur sebagai berikut:
1. Secara prinsip, penyelesaian
utang nasabah dalam transaksi murabahah tidak ada kaitannya dengan
transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang
tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang tersebut dengan
keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan
utangnya kepada bank.
2. Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruh angsurannya.
3. Jika
penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian, nasabah tetap harus
menyelesaikan utangnya sesuai kesepakatan awal. Ia tidak boleh
memperlambat pembayaran angsuran atau meminta kerugian itu
diperhitungkan.
Selain itu, dalam buku Akad Syariah, Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn.
menjelaskan antara lain bahwa sebagai salah satu rukun akad, objek
dalam murabahah yaitu barang yang dijual harus secara prinsip sudah
beralih kepemilikannya ke tangan penjual (hal. 45).
Jadi, berdasarkan uraian tersebut, dapat kita ketahui
bahwa dalam murabahah barang yang dijual harus secara prinsip sudah
beralih kepemilikannya ke tangan penjual. Karena itu, nasabah dapat
secara bebas menjual barang (objek) perjanjian murabahah, walaupun belum
dilunasi pembayarannya.
Inti
dari
"http://khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&id=785"
yang
berjudul "HUKUM MENGGABUNGKAN DUA AKAD DALAM
SATU AKAD (AL-'UQUD AL-MURAKKABAH)"
Misalnya akad
jual-beli dengan ijarah, akad jual beli dengan hibah dst
Aplikasinya
dalam bank syariah misalnya akad Murabahah lil Aamir bi asy-Syira`
(Murabahah KPP [Kepada Pemesan Pembelian]/Deferred Payment Sale). Akad
ini tidak sama persis dengan akad Murabahah yang asli, yaitu jual beli
pada harga modal (pokok) dengan tambahan keuntungan yang diketahui dan
disepakati oleh penjual dan pembeli. (Shalah Ash-Shawi & Abdullah Mushlih, Maa
Laa Yasa'u At-Tajiru Jahlahu, hal. 77; Abdur Rouf Hamzah, Al-Bai' fi
Al-Fiqh Al-Islami, hal. 15; Ayid Syarawi, Al-Masharif al-Islamiyah,
hal. 399 dst).
Jadi dalam
Murabahah KPP ini ada dua akad; akad jual beli antara lembaga keuangan dan
penjual; dan akad jual beli antara lembaga keuangan dengan pembeli.
Pendapat yang
terpilih (rajih) bagi kami, akad rangkap hukumnya tidak sah secara
syari. Alasan kami;
Pertama, kaidah fiqih
yang digunakan tidak tepat. Dengan mendalami asal-usulnya, nyatalah kaidah itu
hanya cabang dari kaidah al-ashlu fi al-asy-ya` al-ibahah (hukum asal
segala sesuatu adalah boleh). Padahal nash-nash yang mendasari kaidah al-ashlu
fi al-asy-ya` al-ibahah (misal QS Al-Baqarah:29) berbicara tentang hukum
benda (materi), bukan tentang hukum muamalah (perbuatan manusia). (Hisyam
Badrani, Tahqiq Al-Fikr Al-Islami, hal. 39).
Kedua, ada nash yang
melarang penggabungan akad. Ibnu Masud RA berkata,Nabi SAW melarang dua
kesepakatan dalam satu kesepakatan (shafqatain fi shafqatin) (HR Ahmad, Al-Musnad,
I/398). Menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani hadits ini melarang adanya dua akad
dalam satu akad, misalnya menggabungkan dua akad jual beli menjadi satu akad,
atau akad jual beli digabung dengan akad ijarah. (al-Syakhshiyah
al-Islamiyah, II/308).
Yogyakarta, 26
September 2010
Muhammad Shiddiq al-Jawi
-Beberapa
opini dari para pakar dan praktisi, diantaranya:
Oleh:
Asmi Nur Siwi Kusmiyati* dengan judul
"Risiko
Akad dalam Pembiayaan Murabahah pada BMT di Yogyakarta(dari Teori ke
Terapan)"
http://journal.uii.ac.id/index.php/JEI/article/viewFile/1045/970
dan
Studi
Analisis Terhadap Pemikiran Muhammad Syafi’i Antonio Tentang Murabahah Dalam
Perspektif Hukum Islam adalah sebagai berikut;
Konsep
murabahah Muhammad Syafi’i Antonio menunjukkan
bahwa:
1.
pemahaman
terhadap riba yang lebih menakankan pada aspek legal.
2.
Terjadinya
rekayasa akad sebagai muslihat yang dilarang dalam islam dalam praktek
murabahah.
3.
Klausul
kontrak yang ditandatangani di awal membuat bank syariah lepas dari segala
resiko kerugian dan melimpahkan segala resiko kerugian kepada nasabah.
4.
Pembiayaan
murabahah dalam konsep Muhammad Syafi’i Antonio
mempunyai keterkaitan dengan waktu. Sehingga dalam pandangan penulis, konsep
murabahah munurut Muhammad Syafi’i Antonio masih
bias terhadap riba. -Hasil penelitian dri praktik yg dilakukakan bank syariah tentang murabahah dengan dua aqad dpt di jelaskan dari tesis yang dilakukan oleh MUKHLAS, yang berjudul "Implementasi gadai syariah dengan Akad murabahah dan Rahn(studi di pegadaian syariah cabang Mlati Sleman Yogyakarta)"
eprints.uns.ac.id/492/1/169412009201011061.pdf
kesimpulan
menurut pendapat saya apabila merujuk kepada ilmu Ushul fikih, pada dasarnya murabahah tidak diperbolehkan karena presepsinya adalah utang yang dikemas dalam jual beli dan murabahah diperbolehkan apabila presepsinya adalah IMBT(Ijarah muntahiyah bittamlik) yaitu; akad sewa barang yang diakhiri dengan kepemilikan barang di tangan penyewa. Perpaduan antara sewa dan jual beli. Harga sewa meliputi harga sewa + cicilan jual beli. Setiap pembayaran cicilan, harga barang disusutkan sampai akhirnya tinggal 1 rupiah. Setelah itu barang dihibahkan/dijual kepada penyewa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar